Jason Heriawan : Pengalamanku menjadi vegan dan peduli lingkungan
Diperbarui: 13 Des 2023
Artikel ini ditulis oleh Jason Heriawan, salah satu volunteer cleanomic yang saat ini tinggal di Melbourne, Australia. Terima kasih yah Jason, sudah mau berbagi cerita tentang perjalanan-mu menjadi seorang Vegan!
Nyokap gue dari dulu selalu ngomel: “Duh, Mama lihat itu ibu-ibu di depan Mama pas tadi di supermarket. Aneh banget. Masa beli Aqua botol satu doang minta plastik? Udah plastik, pake plastik lagi? Kenapa sih orang-orang aneh banget.” Gue setuju sama nyokap. Kenapa harus pake plastik lagi kalau cuma botol air? Nanti juga habis minum langsung dibuang. Tapi di sisi lain, ini lumayan ironis karena sebenarnya orang lain melihat kami yang aneh. Memakai plastik itu begitu normal sampai kalau kasirnya gak kasih plastik, orang yang beli biasanya bakal marah. Plastik udah mendarah daging dalam diri kita.
Dalam hal lingkungan, nge-rant dan kesel udah jadi posisi netral gue. Tapi sebenarnya gue gak selalu kayak gini. Dulu gue sempat gak peduli sama apa yang nyokap gue ngomong.
Yang membuat gue berubah
Dari kecil gue udah dididik untuk lebih peduli lingkungan. Dengan pengetahuan terbatas yang nyokap gue ketahui, dia selalu berusaha kasih tahu apa yang menurut dia benar. Tiap kali nyokap gue belanja, banyak banget persiapannya. Pertama, selalu bawa kantong sendiri. Kedua, bawa kantong jaring-jaring untuk misalnya buah-buahan atau sayuran. Ketiga, nyokap gue selalu siap untuk marahin bokap gue karena bokap suka banget beli air botolan.
Setelah lulus SMA, gue beruntung banget bisa pergi untuk melanjutkan belajar di Australia. Gue seneng banget, tapi sekaligus takut karena itu pertama kalinya gue harus tinggal sendiri. Selama ini anak mama yang apa-apa diurus, sekarang harus mengurus diri sendiri. Nah, mulai deh. Semua yang ngokap gue ngomong udah gue lupakan. Gue mulai gak peduli sama bawa kantong sendiri, mengurangi sampah, dll. “Nyuci baju sama masak saja udah susah, gue gak mau repot,” pikir gue saat itu. Tapi di sisi lain, gue mulai punya gaya hidup baru dan mencari identitas sendiri yang beda dari orang tua. Gue dapat ide-ide baru yang beda yang gak pernah gue dengar sebelumnya.
Saat tahun pertama kuliah, guru gue di pelajaran media dan komunikasi memperlihatkan video sapi disembelih. Gue lupa waktu itu lagi ngebahas apa, tapi gue ingat berpikir “ngapain dikasih lihat beginian?” Sapinya disembelih secara brutal, gue sampai mual menontonnya. Kata videonya cara jagal kaya gitu standar di negara barat. Paling cepet matinya. Paling gak kerasa. Tapi sapinya tetap teriak-teriak. Gue masih ngeliat sapinya ketakutan, berusaha memberontak, supaya gak dibunuh sama tukang jagalnya. Hari itu membuat gue berpikir. Gue mulai mencari info tentang hal itu. Apakah ada cara yang lebih baik untuk membunuh seekor sapi? Dan ternyata, gue menemukan sesuatu yang lebih baik dari itu. Yaitu dengan gak bunuh binatang lagi, alias menjadi vegan. Orang kalau jadi vegan bisa karena banyak hal, tapi alasan utamanya adalah etik.
Gue belajar kalau kita sebagai manusia gak perlu protein dari hewan untuk hidup. Setelah mendalami gue dapat informasi lain diluar etik. Ternyata dengan cuma makan sayuran saja dan meninggalkan daging, susu, dan telor, kita bisa hidup lebih sehat dan mengurangi carbon footprint yang kita hasilkan. Udah tahu begini gue gak pikir panjang lagi, gue memutuskan untuk jadi vegan. Karena gue udah jadi vegan gue semakin banyak terpapar sama fakta-fakta yang buruk tentang Bumi kita ini. Dari dampak peternakan hewan menghasilkan zona laut mati.
Sampah plastik yang kita hasilkan ngerusak laut kita. Sampai gimana perusahaan-perusahaan minyak seperti ExxonMobil sudah memprediksi krisis iklim yang kita rasain sekarang di tahun 80an dulu tapi gak melakukan apa-apa. Mengetahui semua ini membuat gue stres. Sekilas gak mungkin masalahnya bisa diselesaikan begitu saja. Yang jelas butuh perubahan secara kolektif dan kultural. Tapi gue tetap mencoba semua yang bisa gue rubah sendiri dulu. Gue mulai ingat-ingat apa yang nyokap gue bilang, mulai cari alternatif ramah lingkungan untuk produk-produk yang biasa gue beli, dan gue juga mulai hidup lebih minimalis.
Masalah yang gue hadapi
Sejujurnya, gue pikir yang paling susah dari hidup lebih ramah lingkungan dan lebih etis itu adalah harga barang-barang organik itu mahal atau susah nyari makanan vegan. Tapi ternyata gue malah jauh lebih hemat dibanding dulu karena gue jauh lebih dikit beli barangnya; gak beli daging juga. Walaupun gue harus belajar masak, sekarang malah jadi hobi. Semua yang gue kira bakal susah, taunya gampang. Yang lebih gak gue duga dan susah ternyata adalah menghadapi orang lain.
Kadang saat kita berkembang secara personal, entah itu karena pendidikan, perubahan pikiran, atau sekedar berada dilingkungan yang berbeda, kita bakal melihat sekitar dari perspektif yang berbeda. Dan itu yang terjadi sama gue. Gue mulai memiliki pandangan yang berbeda dari temen-temen dan komunitas di mana gue berada. Lingkaran pertemanan dan komunitas-komunitas seringkali dibatasi oleh persamaan. Antara hobi yang sama, tingkat ekonomi, pendidikan, atau sampai sesuatu yang abstrak seperti kepercayaan. Dalam kasus gue, gue mulai melenceng dari beberapa batas tersebut. Gue mulai terlihat berbeda.
Kalau gue pikir lagi sebenarnya normal pilihan gue dipertanyakan sama komunitas gereja gue dulu, orang tua, dan temen-temen terdekat. Itu sesuatu yang mereka gak pernah dengar, dan mereka peduli atau khawatir sama gue. Hidup vegan dan minimalis terdengar ekstrim. Alasan-alasan yang gue berikan terdengar sangat mengada-ada. Sulit bagi beberapa orang untuk menangkap seberapa besarnya masalah yang akan kita hadapi karena terlihat sangat jauh di masa depan. Alhasil gue gak dianggap serius.
Beberapa dari mereka bilang kalau yang gue perjuangkan gak seberapa penting, kalau di dunia ini masih ada yang lebih mendesak seperti orang-orang yang kelaparan atau krisis imigran atau ekonomi negara yang lesu. Pendeta gue bilang kalau kita hidup, gak akan bisa terlepas dari penderitaan. Pasti ada saja orang yang dieksploitasi dari semua yang kita beli dan konsumsi, gak bisa menghindar.
Memang benar banyak orang yang kelaparan di seluruh dunia dan ini adalah masalah yang serius. Dengan 7 milyar orang di Bumi, diperkirakan ada 805 juta orang yang kelaparan. Banyak yang bilang dengan pertambahan penduduk, kita bakal kesulitan untuk memberi makan semua orang. Padahal sebenarnya kita punya makanan yang cukup untuk memberi makan 9.4 milyar orang. Sayangnya sistem agrikultural kita bergantung sama peternakan hewan. Kebanyakan dari hasil panen diberikan ke hewan ternak. Seekor sapi jelas makan lebih banyak dari seorang manusia.
Menurut beberapa ahli, seandainya kita bisa transisi ke diet berbasis nabati, kita bisa membantu masalah ini. Terus krisis iklim nantinya bakal menyebabkan krisis pengungsian yang lebih besar dari sekarang. Menurut UN, kedepannya akan ada banyak bencana alam seperti kekeringan, badai, dan banjir yang bakal memaksa orang untuk pindah dari tempat tinggalnya. Dan yang jelas gak bakal ada ekonomi lagi di Bumi yang mati.
Gue lumayan kecewa dengar mereka mikirnya kayak gitu. Apalagi pendeta gue yang seperti udah menyerah dalam hidup. Mereka bilang mereka lebih peduli hal lain tapi gue tahu sebenarnya mereka gak beneran peduli sama hal-hal itu. Kalaupun peduli juga, mereka gak melakukan apa-apa untuk merubah keadaan yang ada. Dan gue khawatir kalau gak ada yang peduli, krisis iklim bakal mempengaruhi semua aspek di hidup kita dan membuat semuanya semakin parah.
Gender
Yang paling menarik dari interaksi gue sama sekitar gue adalah perbedaan reaksi dari orang yang bergender perempuan vs. yang laki-laki. Orang pertama yang bersedia mendengarkan dan gak mengabaikan gue adalah nyokap gue (of course). Nyokap gue sekarang juga cuma makan sayuran. Bokap gue sekarang udah mulai peduli sama hal-hal yang gue ngomong, tapi dengan proses yang relatif lama. Beberapa temen gue yang cewek lebih mendengarkan dan juga merubah beberapa kebiasaan mereka. Tapi temen-temen gue yang cowok bahkan masi ada yang gak bisa mengerti apa yang gue lakukan. Identitas gender gue dipertanyakan dan gue dianggap aneh.
Gue baru sadar ternyata peduli sama lingkungan dan masalah etik ternyata berkaitan sama identitas gender. Terutama bagi mereka yang bergender laki-laki dan merasa dirinya harus terlihat maskulin. Entah gimana, peduli lingkungan atau gak makan daging dilihat lebih feminin. Mereka jadi berpikir kalau vegan atau peduli lingkungan, ya bukan cowok. Beban untuk peduli lingkungan seakan dikasih ke perempuan. Ini bisa dilihat di komunitas zero waste, di mana kebanyakan role model-nya adalah perempuan yang blog-blognya biasa dibilang “kecewek-cewekan”. Produk-produk seperti kotak makan reusable, sedotan bambu, skin care, dll kebanyakan juga ditargetkan ke cewek. Jarang sekali ada panutan laki-laki. Lebih parahnya pejuang lingkungan hebat seperti Greta Thunberg dan Alexandria Ocasio-Cortez pun tetap dibuat bercandaan dan dibuat jadi meme oleh laki-laki. Serba salah.
Gue gak tahu seberapa besar dampak yang bisa dilakukan oleh satu orang. Tapi gue berpikir mendingan gue coba dulu daripada diem saja. Gue mau mulai dari diri sendiri. Gue gak tahu masa depan kita semua bakal gimana. Dalam 10 tahun ke depan, mau gak mau kita semua harus berubah untuk menghindari point of no return di krisis iklim ini. Yang jelas kita gak punya waktu untuk memikirkan identitas gender, maskulin atau feminin, semua itu gak penting. Kita di tahun 2020, pemikiran identitas gender yang rapuh seperti itu udah gak jaman. Masih banyak yang harus kita lakukan seperti mendesak pemerintah dan perusahaan-perusahaan untuk berubah dan bertanggung jawab. Untuk melakukan itu kita butuh kerjasama; gak peduli cewek, cowok, tua atau muda. Kita harus mengedukasi diri seputar krisis iklim, dan kita bisa mulai dari sekarang dengan melakukan hal-hal yang kecil. Misalnya lebih hemat pakai air, belajar membuat kompos, gak makan daging tiap hari senin (meatless mondays), atau sekedar bergabung sama komunitas peduli lingkungan. Dalam waktu yang sempit ini, kita gak butuh cuma beberapa orang yang melakukan semua hal secara sempurna. Kita butuh semua orang untuk melakukan sesuatu, sekecil apapun walaupun gak sempurna.
Sources:
Comments