top of page

Memahami Permasalahan Sampah Plastik dari Perspektif Perilaku Manusia


^this is meeee!!!


Halo semuanya! Salam kenal, aku Karuna, salah satu associate content-nya Cleanomic. Beruntung banget nih, kemarin aku berkesempatan untuk mengikuti webinar tentang “Plastik dan Evolusi Perilaku Manusia” yang diselenggarakan oleh Big Change Agency dan Unilever Indonesia.


Webinar ini menghadirkan para narasumber yang kompeten di bidangnya masing-masing, yaitu Tara de Thouars (Psikolog), Aris Sujito (Sosiolog), dan Dr. Yosefina Anggraini (Antropolog). Dalam webinar yang berlangsung selama 1 jam ini, para narasumber membahas tentang permasalahan sampah dari perspektif antropologis, sosiologis, dan psikologis. Aku mewakili Cleanomic bersama temen-temen dari beberapa komunitas lain juga diberi kesempatan untuk diskusi bareng terkait permasalahan sampah dari perspektif komunitas dan industri. Berikut catatan-ku dari webinar ini:


Perspektif antropologis.


Pada awalnya, plastik banyak digunakan karena memiliki banyak manfaat dan sifatnya yang elastis. Namun, permasalahan sampah plastik timbul akibat populasi manusia yang semakin banyak dan kebiasaan mereka membuang sampah sembarangan. Ditambah pula dengan pengelolaan yang tidak tepat. Walaupun begitu, tidak tepat jika kita menggeneralisasikan suatu populasi manusia, misalnya orang Indonesia suka membuang sampah sembarangan, karena ini adalah masalah bersama di seluruh dunia. Jadi, perlu kita melihat sesuatu dari perspektif psikologis juga.


Perspektif psikologis


Tara menjelaskan bahwa perilaku seseorang berpengaruh pada setiap masalah yang terjadi, termasuk masalah lingkungan. Dimulai dari mindset tiap orang, alasan masih banyak orang yang tidak peduli dengan masalah lingkungan bisa beragam seperti:

  • kurangnya rasa empati terhadap sesama;

  • denial, padahal sudah tahu ada masalah lingkungan dan memang dirasa tidak nyaman, tetapi memilih pura-pura tidak mau tahu (merasa bukan urusannya);

  • ragu-ragu untuk memulai aksi sendiri karena tidak ada orang di sekitarnya yang membahas atau melakukan hal serupa;

  • tidak merasa terancam karena belum merasa ada masalah yang langsung berdampak pada dirinya. Dampak yang ada tidak terlihat di depan mata; serta

  • malas memulai aksi karena untuk menjaga lingkungan dibutuhkan effort lebih sehingga dianggap merepotkan atau sia-sia.


Tara pun kembali menambahkan, kita bisa memulai perubahan dengan dua perspektif. Satu, rasa takut, kita point out semua ancaman yang terjadi jika masalah sampah diabaikan. Atau yang kedua, rasa cinta dan kebaikan. Kita bisa bekerja sama dengan semua orang untuk menjaga bumi kita tetap indah dan lestari.


Perspektif sosiologis


Perlu adanya kesadaran kolektif untuk menjadi bijak sampah plastik, di antaranya bisa melalui banyak pendekatan, seperti regulatif, insentif, dan lain-lain. Namun, ini semua harus dimulai dari kesadaran diri sendiri, tiap-tiap orang mengubah persepsinya tentang sampah dan punya pengetahuan terkait dampak buruk sampah plastik bagi lingkungan.


Dibutuhkan adanya tiga komponen yang saling berkaitan untuk memecahkan masalah sampah, yaitu sebagai berikut.

  • Suprastruktur: Berupa ide besar dari kehidupan yang berdampingan dengan sampah. Masyarakat bisa menentukan apakah sampah akan terus diposisikan sebagai lawan (sesuatu yang kotor dan tidak berguna) atau ancaman (merusak lingkungan), atau justru sebagai sahabat, misalnya sebagai sesuatu yang memiliki nilai ekonomis.

  • Struktur: Harus ada badan atau lembaga yang meregulasi masalah sampah.

  • Infrastruktur: Informasi, peralatan, dan fasilitas yang membantu manusia hidup berdampingan dengan sampah.

Penting untuk mengenali karakter manusia yang pastinya berbeda satu sama lainnya. Ini juga termasuk tempat tinggal (di perkotaan atau pedesaan), usia, pergaulan sehari-hari, budaya, dan pengalaman yang dialami orang tersebut. Setelah itu, baru kita bisa memetakan pendekatan yang cocok untuk tiap orang. Dibutuhkan juga pendekatan dengan menggunakan tokoh masyarakat yang disegani atau dihormati, seperti pemuka agama atau bahkan preman sekalipun untuk menumbuhkan kesadaran akan bahaya sampah. Kesadaran akan bahaya sampah plastik tidak bisa muncul dengan mudah, butuh proses panjang bagi masyarakat awam membangun kebiasaan yang baik, seperti memilah sampah atau mengurangi pemakaian plastik dalam kebiasaan sehari-hari.


Bu Yosefina mengatakan bahwa kita ini “homo sapiens yang sudah berubah menjadi homo digitalis”. Jadi, saat ini kita gunakanlah jempol kita untuk mengumpulkan kekuatan yang jauh lebih dahsyat. Kekuatan yang berbeda dan masih dianggap aneh oleh kebanyakan orang. Sayangnya, saat kita memulai untuk hidup ramah lingkungan, tak jarang kita dilabeli dengan berbagai predikat aneh, seperti “sok suci”, “dasar SJW”, dan sebagainya.


Tara menambahkan, nggak apa-apa kalau ada rasa takut dan sedih saat di-julid-in orang, itu wajar terjadi, tapi jangan pernah berhenti untuk melanjutkan aksi baik ini. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengedukasi diri secara mendalam agar kita paham betul value dari aksi yang kita lakukan dan dampaknya di kemudian hari.


Bu Maya Tamimi, Head of Environment and Sustainability Division Unilever pun menambahkan “justru orang-orang “aneh” ini rasanya pengen saya kloning biar banyak..” Karena memang orang-orang seperti itulah yang nantinya akan menjadi leader of change.


***


Pesan penting yang aku dapat dari webinar ini adalah setiap orang memiliki sense of purpose yang ingin mereka wujudkan, dan memilih untuk lebih bijak mengelola sampah bisa menjadi salah satu bentuk self-reward bahwa mereka sudah berhasil mewujudkan purpose yang positif bagi diri dan lingkungannya. Pada akhirnya, self-reward ini dapat menjadi dorongan bagi seseorang untuk mengubah perilaku secara jangka panjang. Purpose ini juga bisa tumbuh dari melihat dan mencontoh gaya hidup orang lain. Contohnya, saat sampah yang dipilih dan disetor ke bank sampah bisa dapat uang, banyak yang menyadari bahwa ada keuntungan dari memilah sampah, maka semakin banyak masyarakat yang mau memilah sampah.


Kita juga perlunya menghargai setiap usaha walaupun terlihat kecil. Setiap kemajuan dan proses harus diapresiasi. Hal-hal kecil inilah yang nantinya akan sangat berharga. “Perlu ada reward untuk setiap hal baik, karena jika tidak ada reward yang bisa dirasakan, setiap hal baik akan hilang begitu saja”, kata Tara.

260 tampilan0 komentar

Comments


bottom of page