Jejak karbon makanan kita: Bagaimana cara menghitungnya?
Diperbarui: 8 Des 2023
Urusan perut ini memang gak main-main. Center for Sustainable Systems, University of Michigan menyatakan bahwa, bila dihitung, jejak karbon makanan bisa mencapai 30% dari total jejak karbon di satu rumah tangga. Dalam salah satu penelitian yang ada di Annual Review of Environment and Resources di tahun 2012 disebutkan bahwa sistem makanan ini berkontribusi sekitar 19-29% dari total emisi gas rumah kaca (GRK) di dunia akibat kegiatan manusia atau sumber GRK antropogenik.
Enam tahun kemudian, angka ini masih konsisten, seperti yang diangkat oleh penelitian yang dimuat di Science, salah satu jurnal dari American Association for the Advancement of Science di tahun 2018, yang menyatakan bahwa rantai makanan ini berkontribusi terhadap 26% total emisi GRK antropogenik. Presentase ini pun diperkirakan akan terus bertambah seiring dengan pertambahan populasi manusia. FAO merilis data bahwa setidaknya di tahun 2050 kita memerlukan tambahan 70% dari jumlah pangan saat ini untuk memenuhi kebutuhan 9,1 miliar penduduk dunia.
Dengan kontribusinya yang mengisi sepertiga dari total emisi global, urusan produksi makanan ini memang menjadi salah satu kunci potensial mitigasi alias pencegahan dari perubahan iklim dunia.
Dilansir Science Daily, temuan terbaru tahun 2023 yang dipublikasikan dari para ilmuwan menyebutkan, Indonesia menjadi penyumbang ketiga terbesar atas emisi lewat kegiatan konsumsinya selama kurun waktu 20 tahun ke belakang. Dengan kaitannya atas konsumsi biji-bijian (beras) sebesar 20% serta konsumsi minyak sawit terbesar di dunia, dengan emisi 35% dari total emisi global pada tahun 2019. Jadi, jangan lepas tangan, karena kita jelas punya tanggung jawab atas hal ini.
Nah, sekarang pertanyaannya, bagaimana sebenarnya menghitung jejak karbon makanan kita, dan yang lebih penting, bagaimana kita bisa membantu menguranginya?
Beberapa literatur memperlihatkan komponen perhitungan yang sedikit berbeda, tapi pada intinya menggunakan prinsip Life Cycle Assessment. Artinya, dari awal produksi hingga akhir penggunaan produk-produk peternakan dan pertanian ini diidentifikasi semua aktivitas yang menghasilkan emisi gas rumah kaca, sehingga bisa dihitung total jejak karbon dari produk tersebut. Lagi-lagi, dari beberapa literatur yang kami rujuk, terdapat perbedaan dari sumber-sumber gas rumah kaca yang diidentifikasi dan dihitung kontribusinya dalam menghitung emisi GRK ini. Tapi pada dasarnya ada dua bagian besar yang menjadi sumber utama GRK.
Komponen yang diperhitungkan meliputi:
Faktor input, seperti produksi pakan ternak atau pupuk dan bibit.
Penggunaan lahan, yaitu teknik bertani/beternak, seperti berapa kali lahan menghasilkan panen per tahun, waktu jeda tanam, dan manajemen lahan. Termasuk dalam komponen ini adalah pelepasan karbon bila ada pembukaan lahan, terutama dari hutan menjadi ladang pertanian/peternakan, praktik pembakaran sisa panen, serta penyerapan karbon dari tanaman-tanaman pertanian.
Sumber-sumber emisi GRK yang langsung berhubungan dengan hewan ternak/tanaman pertanian, seperti gas metana dari sistem pencernaan ternak, pengelolaan kotoran ternak, penggunaan pupuk, dan irigasi sawah.
Sumber-sumber emisi GRK dari sumber energi yang dipakai di lahan pertanian/peternakan, seperti listrik dan bahan bakar mesin.
Pasca-pertanian/peternakan, yaitu pemrosesan produk, pengemasan, transportasi, dan ritel.
Pemrosesan produk, yaitu sumber GRK dari energi yang digunakan saat penyembelihan binatang ternak, dan pendinginan produk. Proses pengemasan terkadang dimasukkan ke dalam komponen ini.
Transportasi produk, yaitu emisi GRK dari transportasi di hulu. Artinya transportasi dari produksi bahan makanan ke tempat pemrosesan dan ke poin ritel, bukan di hilir, yaitu energi yang dipakai untuk para konsumen membeli di toko atau poin ritel lainnya.
Ritel, yaitu GRK yang diemisikan dari energi saat penjualan.
Di bagian pasca-pertanian/peternakan ini ada juga yang memasukkan proses mengolah produk (cara masak) dan pengelolaan limbahnya.
Setelah didapatkan angkanya, angka emisi ini akan dikalibrasi untuk menjadi angka emisi per satuan unit fungsional dari bahan-bahan makanan yang diproduksi ini. Artinya, yang benar-benar bisa dimakan, karena bila berat sapi hidup 200 kg, tidak seluruh 200 kg itu bisa dimakan. Faktor kehilangan makanan juga terkadang dimasukkan dalam perhitungan emisi GRK. Karena bila bahan makanan sudah siap dijual namun terbuang atau makanan sudah dibeli tapi dibuang (atau terbuang), berarti ada jejak karbon yang harus diperhitungkan ke dalam porsi makanan yang akhirnya sampai ke perut konsumen.
Selain dijadikan per satuan hasil produk (gram atau kg), angka jejak karbon ini juga ada yang mengkonversikannya menjadi angka per satuan nutrisi, yang diekspresikan dalam kilo kalori. Kompleks? Haha, iya banget.
Tapi jangan khawatir, sudah ada para cendikia yang telah menghitung angka emisi ini. Banyak juga kalkulator daring untuk menghitung jejak karbon makanan kita. Tapi karena metodenya berbeda dan faktor-faktor yang diperhitungkan juga berbeda, maka angka yang dihasilkan pun bisa berbeda. Sebagai orang awam, sebaiknya kita gak perlu berdebat tentang perbedaan angka ini. Karena ada beberapa hal serupa di antara kajian-kajian ilmiah ini yang bisa diambil pelajarannya, supaya kita, para konsumen yang senantiasa lapar ini (apalagi pas WFH) bisa berkontribusi terhadap pengurangan jejak karbon dari urusan perut ini.
Jadi kita mesti apa, nih supaya jejak karbon kita bisa berkurang? Akan ada di artikel selanjutnya. Stay tuned, hungry people!
Akses lebih banyak info, berita, dan cerita seputar #cuanlestari dan hidup berkelanjutan lewat website Cleanomic dan follow instagram kami di @cleanomic ya!
Comments